Persaudaraan Antara Suku Bima (Dou Mbojo) dan Makassar


Anda mungkin sudah tidak asing dengan salah satu suku di Nusa Tenggara Barat ini - Bima. Kota yang potensi utamanya masih berkisar pada pertanian ini secara historis mempunyai hubungan yang erat dengan kerajaan Gowa-Tallo. Pengenalan agama Islam awalnya dari pedagang Jawa dan Gujarat. Namun pengaruhnya tidak dalam cakupan yang luas hingga pada masa mulai kuatnya ekspedisi Belanda, kerajaan Gowa-Tallo memutuskan mengirimkan pasukan untuk mematahkan serangan mereka melalui perairan Bima dan Lombok. Intervensi ini merupakan tapak baru bagi perkembangan silsilah suku Bima.

Seiring dengan pengaruh agama Islam yang lebih intensif dari ulama kerajaan Gowa-Tallo, maka gelar raja diganti menjadi sultan. Sedangkan mengenai penduduk asli dari daratan Bima adalah suku Donggo. Suku ini awalnya menganut kepercayaan animisme, lalu perlahan tertekan oleh agama Islam. Suku lain yang merupakan generasi baru dari suku Bima adalah suku pendatang dari Gowa-Tallo yang membawa amanat persaudaraan melalui perjuang melawan Belanda pada abad ke-14 itulah yang lalu menetap di Bima dan disebut Dou Mbojo (orang Bima). Suku inilah yang sekarang ini lebih menyebut dirinya sebagai suku asli Bima.

Tidak hanya suku Gowa–tallo yang menginjakkan kaki sejarahnya di Kerajaan Bima, situs kuburan dengan julukan Duta Bima di Kuburan Raja Gowa-Tallo membuktikan bahwa pengaruh pemuka agama Islam Bima juga turut berperan serta dalam perjuangan Kerajaan Gowa-Tallo di masa lalu.

Latar Belakang Orang Bima Merantau ke Makassar dan kehidupannya

Melihat latar belakang sejarah antara Suku Bima dan Makassar, wajar jika hingga saat ini hubungan historikal yang terjalin sejak lama itu masih terlihat. Terbukti, orang-orang Bima sudah tersebar menetap di seluruh wilayah Sulawesi Selatan termasuk kabupaten Takalar, Gowa, Kota Makassar dan lainnya. Mereka merantau ke Makassar baik itu untuk melanjutkan pendidikan, mencari kerja, atau malah menikah dengan suku asli Makassar.

Kota Makassar sebagai salah satu spot destinasi bagi orang-orang yang menginginkan hidup yang cukup tenang, namun kota yang juga tidak bisa disebut udik lagi, apalagi melihat perkembangan dari berbagai sektor dimana pemerintah kota Makassar telah menargetkan kesetaraan kota ini dengan kota metropolis di dunia. Kiranya inilah yang menjadi alasan mengapa calon-calon intelek di luar sana mempertimbangkan untuk menjadi salah satu jebolan universitas di Makassar.

Selain suku Jawa, suku yang juga telah banyak mendiami Makassar dan sekitarnya adalah suku Bima. Orang-orang keturunan Bima memang dikenal sebagai pribadi yang memiliki etos kerja yang tinggi setelah suku Jawa.

Hampir di setiap kampus bisa ditemui mahasiswa yang sengaja datang dari Bima untuk mendapatkan pendidikan; negeri, swasta, ataupun kesehatan. Seperti persatuan mahasiswa dari kabupaten lain di Sulawesi Selatan, mahasiswa Bima juga biasanya memiliki cara yang hampir sama sebagai wujud persaudaraan mereka, seperti rumah kos yang dikhususkan bagi mahasiswa asal Bima.

Cara lain yang mereka lakukan untuk mempersatukan kesukuan mereka di tengah perantauan ini, adalah membentuk arisan ‘Dou Mbojo’. Penulis menemukan perkumpulan arisan ini ada di Takalar dan Makassar. Arisan ini rutin mereka adakan tiap bulannya, selain untuk mempererat persaudaraan (cukup klasik namun sangat dalam maknanya bagi para perantau), juga untuk saling mengenal satu sama lain yang pada kenyataannya tersebar di pelosok kota ataupun kabupaten di sekitar Makassar. Moment ini juga akan menjadi ajang berbagi cerita mengenai keluarga masing-masing, tentang lingkungan kerja istri atau suami, tentang sekolah atau pekerjaan anak-anak kebanggaan mereka dan lain sebagainya. Arisan ini dikemas dalam bentuk yang umum dimana selain tradisi mengocok nama, juga dengan sajian makanan khas Makassar; Baro’bo (bubur jagung), Kapurung, ikan bakar, Racca’ Mangga, dan lainnya.

Dengan komunitas yang cukup besar ini, maka tidak jarang hampir di setiap keramaian, akan anda temui orang-orang yang berbahasa Bima. Hal ini mungkin karena kehidupan di kampung halaman yang nota bene belum begitu menjanjikan jika dibandingkan dengan kota Makassar dari segi infrastruktur yang lebih lengkap.
Beragam cerita dan latar belakang menjadi motivasi perantau Bima untuk datang ke Makassar; tuntutan profesi yang menugaskan mereka di kota yang tengah gencar membangun ini. Arif, seorang tentara jebolan dari pendaftaran Catam Jakarta tahun 2000 yang kini berpangkat Pratu, berasal dari suku Bima asli dan kini bertugas pada kesatuan Armed Makassar, lalu menyunting gadis asal Bima.
Nadimin S. Kes, M. Kes., yang tinggal di perumahan IDI Daya adalah seorang dosen suku Bima dan mengajar di kampus IDI dulunya menyelesaikan studinya di Makassar, kini menetap di Makassar dengan istri bersuku Bugis-Jawa.

Bimbim, seorang jebolan mahasiswa UNM merupakan pemuda kelahiran Dompu - kabupaten tak jauh dari kota Bima - kini menangani laboratorium jurusan Teknik UNM. Awalnya Bimbim menjatuhkan pilihannya di kota Makassar sebagai kota untuk mengambil gelar Sarjana Tekniknya ini karena pengalaman kakaknya yang sudah lebih dulu menyandang gelar Sarjana Agama di UIN.

Seperti yang banyak terjadi pada suku-suku yang lainnya, walaupun sekian persen mereka menikah dengan suku Bugis atau Makassar, tetapi secara prinsip, mereka akan menikah dengan suku yang sama lalu menetap di Makassar dengan alasan sumber kehidupan mereka ada di sini. Anak-anak yang kemudian lahir, tentunya akan lebih familiar dengan tata cara, budaya, logat, ataupun pola hidup orang Makassar.

Walaupun sebagian besar orang-orang Bima menuntut ilmu di Makassar lalu melanjutkannya juga dengan bekerja di Makassar, tak jarang juga dari mereka akan kembali ke kampung halaman untuk mengabdi di sana. Pada umumnya mereka yang berprofesi sebagai guru, perawat, bidan, pelayanan kesehatan lain, sedangkan untuk profesi pengacara, seperti Arsyad, yang tinggal di daerah Sudiang beristrikan suku Bugis, lebih memilih membentuk sebuah wadah konsultan di Makassar. Sekiranya di Bima mungkin masih belum populer dengan pemanfaatan jasa pengacara.

Hubungan Orang Bima dengan kampung Halaman

Berada di kampung orang lain walaupun sampai berpuluh tahun, bukan berarti melupakan sepenuhnya keberadaaan keluarga di kampung asal. Transportasi yang paling lumrah dan murah sebagai jalur utama orang Bima ke Makassar ataupun sebaliknya adalah kapal laut; Kelimutu, Tilongkabila, Labobar. Maka jangan heran kalau Anda sedang berada di Gedung Pelni Jl. Jenderal Sudriman 38, Anda akan menemukan pemuda pemudi bercakap dalam bahasa Bima.

Musim pulang kampung masyarakat Bima tidaklah jauh berbeda dengan masa-masa mudik suku lain. Menjelang Idul Fitri adalah mudik yang paling dinanti-nantikan. Namun itu hanya berlaku bagi mereka yang berprofesi sebagai mahasiswa. Kalaupun ternyata biaya ditangan tidak cukup untuk membeli tiket, mahasiswa ini biasanya akan ikut ke kampung halaman teman dekatnya sesama mahasiswa atau jika memiliki keluarga di Makassar, mereka akan merayakan hari besar itu bersama mereka. Orang Bima yang sudah berkeluarga dan memiliki anak memiliki jedah waktu yang lebih panjang untuk melakukan mudik. Dari segi pengeluaran budget tentunya akan lebih besar jika harus melakukan tradisi mudik tiap tahunnya.

Salah satu resiko yang cukup dramatis yang mesti dihadapkan kepada para perantau ini adalah, jika sanak keluarga, entah itu ayah, ibu, nenek, kakek, atau saudara tertimpa musibah atau bahkan meninggal, para perantau ini tentu tidak akan langsung bisa berada di tempat itu untuk sekedar berada di samping sanak keluarga yang tertimpa musibah.

Saat Idul Fitri harus dirayakan bertahun-tahun di Makassar, permohonan maaf hanya bisa dikirimkan lewat sms atau telepon, lalu menyadari betapa jauhnya sang anak telah meninggalkan orang tua, membuat cucu jauh dan asing pada kakek dan neneknya. Para sepupu bahkan akan sulit untuk saling mengakrabkan diri saat akhirnya dipertemukan.

Budaya Masyarakat Bima di Makassar

Kebudayaan suku Bima dengan Makassar sebenarnya tidaklah jauh berbeda. Lihat saja gaun pengantin adat yang hampir mirip dengan baju bodo suku Makassar. Perhelatan pesta pernikahanlah yang akan memperlihatkan perbedaan yang cukup menonjol. Apalagi mengingat budaya Makassar dengan nilai Panaik yang cukup tinggi. Suku Bima terbilang lebih sederhana dalam melaksanakan prosesi pernikahan.

Dari segi bahasapun, jika ciri khas dari bahasa Makassar lebih dominasi dengan akhiran huruf mati, maka bahasa Bima lebih dengan akhiran huruf hidup. Sampel yang bisa kita ambil seperti kata ‘tantongang’ dalam bahasa Makassar yang artinya jendela, maka dalam bahasa Bima ‘tantonga’. ‘jangang’ dalam bahasa Makassar, maka bahasa Bima disebut ‘janga’. Salah satu kata yang paling sering mereka ucapkan bagi saudara yaitu bermakna salam, doa, atau menunjukkan rasa empati adalah ‘kalembo ade’. Kata yang tidak memiliki arti yang spesifik ini adalah untuk menunjukkan penghargaan satu sama lainnya.

Untuk silsilah keluarga, suku Bima memanggil saudara ayah atau ibu yang lebih tua dengan Ua’. Sedangkan saudara ibu atau ayah yang lebih muda, mereka sebut bibi dan om.

Demikianlah sekilas tentang kehidupan masyarakat Bima (Dou Mbojo) di kota Anging Mammiri ini.

Sumber: mbozoraneva
Foto: infombojo

Sifat dan Karakter orang Bima


Indonesia memiliki keragaman suku. Ada ratusan lebih suku yang ada di Indonesia, salah satunya adalah suku Bima. Setiap suku memiliki karakteristik yang berbeda. Bicara tentang sifat-sifat suku yang ada di Indonesia, sifat orang Bima memiliki sifat yang sangat khas dan kental. Sifat orang Bima adalah baik, ramah, tidak kasar, suka menolong, menerima orang baru.

Orang Bima ganteng, makin hari semakin banyak laki-laki suku Bima berperawakan ganteng dan tampan, alhasil banyak artis yang bersuku Bima. Artis Bima di Indonesia mulai dari pemain film, penyanyi dan presenter.

Wanita Bima juga banyak yang cantik, makanya suku lain mau menikahi wanita suku Bima.

Karakter orang Bima adalah Baik, penyayang, ramah, tidak kasar, mudah bergaul, suka menolong.

Jika ada menganggap orang Bima itu jahat itu tidak benar. Karena pada dasarnya semua suku di Indonesia sangatlah baik.

Karena watak Orang Bima (cewek-cowok) begitu menarik, maka orang Bima pantas dijadikan jodoh.

Ciri khas orang Bima yang mau membantu sesama manusia, menjadi daya pikat bagi semua orang untuk menerima kehadiran orang Bima dijadikan sebagai saudara di tengah-tengah masyarakat dan negara.

Kesan negatif orang Bima adalah hal yang paling ingin diketahui bagi mereka yang saat ini sedang bersama atau baru berteman dengan suku Bima. Padahal kesan negatif itu muncul karena ada anggapan negatif yang berlebihan. Pada dasarnya, kesan positiflah yang selalu ada di suku Bima.

Prinsip orang Bima adalah hidup mandiri dan saling membantu orang lain.
Orang Bima boleh menikah dengan suku lain, asal kedua pasangan saling mencintai satu sama lain.

Sejarah suku Bima lahir atas sekumpulan orang pada masa lalu yang menghuni suatu daerah dan membentuk keturunan hingga sampai dengan saat ini.

Sejarah suku Bima bisa anda cari dan download dari internet.

Orang Bima terkaya di Indonesia dipegang oleh pengusaha. Namun ada juga orang Bima yang kaya di bidang pemerintahan seperti Menteri dan pejabat tinggi negara.

Suku Bima memiliki bahasa daerah. Supaya bisa berbahasa Bima tentu kamu harus belajar agar bisa berkomunikasi bahasa daerah Bima dengan lancar.

Cerita suku Bima banyak menceritakan tentang peristiwa atau kejadian pada masa lalu. Dongeng Bima sangat diminati oleh pelajar SD. Cerita dongeng Bima ditujukan untuk membuat anak-anak Bima berbuat baik dan mengasihi sesama manusia.

Makanan khas suku Bima terbuat dari bahan alam, seperti hewan/tanaman yang berasal dari air, darat dan udara (Burung). Makanan khas Bima ini disajikan menjadi hidangan pada saat ada acara adat, seperti acara pernikahan.

Lagu daerah Bima sangat populer dan dikenal orang Indonesia hingga luar negeri. Semua Lagu Bima bisa di unduh di Internet.

Tari tradisional Bima sering dipertunjukkan pada saat ada acara adat dan acara lainnya.

Rumah adat Bima merupakan peninggalan yang selalu ada wujudnya. Rumah adat Bima harus dijaga keasliannya agar tidak lenyap dari sejarah.

Pemimpin atau Raja suku Bima dikenal sebagai Tua-tua (orang yang paling dituakan). Seorang raja Bima harus mengetahui semua tentang adat Bima.

Adat istiadat suku Bima sejauh mata memandang memang terlihat rumit, akan tetapi jika dipahami Adat istiadat suku Bima sangat menyentuh hati. Makanya setiap orang yang memiliki adat istiadat bisa berbangga hati, karena dianggap memiliki kebaikan, bertutur yang ramah dan bertata krama.

Hampir semua suku di Indonesia memiliki alat musik tradisional, termasuk suku Bima. Jika dimainkan, alat musik tradisional suku Bima sangat enak untuk di dengar.

Sumber: alicaris
Foto: kamusbahasabima

Kalembo Ade, Pesan Ikhlas Masyarakat Mbojo (Bima-NTB) Anthon Putra Sila Tambe


“KALEMBO Ade” sebuah ungkapan yang sangat akrab dan familiar di masyarakat Mbojo (Bima dan Dompu) di Nusa Tenggara Barat.

Penggunaannya di berbagai kesempatan dan kepentingan. Kepada tamu si tuan rumah akan menyapa “Silahkan duduk kalembo ade ta…” Kepada keluarga yang berduka dan terkena musibah diberi nasehat “Ka nae kalembo ade”

Demikian pula di setiap perpisahan atau mengantar keluarga dan teman pergi, kata “kalembo ade” pasti terdengar dan diucapkan.

Secara harfiah kalembo ade bisa dimaknai, kalembo yakni ikhlas, sabar, syukur. Ade berarti hati. Sehingga makna tegur sapa dan ucapan dari “kalembo ade” bisa disesuaikan dengan waktu, kondisi dan kepentingan ketika dua orang atau lebih masyarakat Mbojo berinteraksi.

Pokoknya tak lengkap jika komunikasi antara sesama dou (masyarakat/orang) mbojo tidak disertai dengan ucapan “kalembo ade”.

Bagi saya sebagai masyarakat Mbojo pesan dan tegur sapa Kalembo Ade itu teramat biasa didengar sehingga lupa untuk memaknai lebih dalam dan lebih jauh dua kata itu.

Bahwa ternyata pesan untuk mengedepankan hati, mengutamakan keikhlasan, syukur dan sabar telah menjadi tradisi keseharian di Bima dan Dompu-NTB.

Betapa dahsyatnya jika ikhlas, syukur dan sabar itu bisa diaktualkan dan diterapkan dalam setiap sendi kehidupan. Seperti halnya yang diutarakan dalam buku-buku best seller seperti “Quantum Ikhlas”, “The Miracle of Zona Ikhlas” karya Erbe Sentanu maupun buku “Dahsyatnya Syukur” dan “Kekuatan Sabar”

Sejumlah petuah, pepatah dan ungkapan tradisi di Bima yang lain juga bermakna agar energi keikhlasan agar menjadi bagian utama setiap tingkah, ucapan dan pikiran masyarakat Bima.

Misalnya “Ngaha Aina Ngoho” atau makanlah tapi jangan serakah, berarti syukur apa yang telah Allah berikan, sisakan untuk orang lain. “maja labo dahu” atau malu dan takut untuk berbuat dan berucap yang tak baik. Dan banyak lagi.

Kalembo ade bukan sesuatu yang pasif, kalembo ade adalah sebuah energi, energi positif. Energi yang positif akan membawa kebaikan dan perubahan yang maha dahsyat bagi diri dan lingkungan.

Sumber: kamusbahasabima

Pakaian Adat Suku Bima Nusa Tenggara Barat


Nusa Tenggara Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia. Secara geografis, Nusa Tenggara Barat terletak di kepulauan Nusa Tenggara. Dua pulau terbesar di provinsi ini adalah Sumbawa dan Lombok. di Pulau Lombok, mayoritas penduduknya adalah Suku Sasak, sedangkan Pulau Sumbawa didiami oleh Suku Bima.

Berbicara mengenai pakaian adat masyrakat Suku Bima atau Dou Mbojo, tidak bisa terlepas dari pengaruh kerajaan Bima yang merupakan kerajaan Islam yang tersohor di Nusantara bagian timur.  Pengaruh budaya Islam terhadap kebudayaan masyarakat Bima sangat besar. Oleh karena itu, keberadaan pakaian adat Bima tidak bisa lepas dari sejarah perkembangan Islam di masa lalu.

Rimpu, pakaian adat perempuan Suku Bima ini merupakan bukti besarnya pengaruh kebudayaan Islam di Bima. Dari segi bentuk, rimpu sering diidentikan dengan mukena, yaitu pakaian yang dikenakan perempuan muslim ketika melaksanakan shalat.

Satu set Rimpu terdiri dari dua bagian, sebagai penutup kepala sampai perut dan penutup perut sampai kaki (seperti rok perempuan pada umumnya). Secara fungsi rimu dibagi menjadi dua jenis, rimpu cili dan rimpu colo. Rimpu cili khusus untuk perempuan Bima yang belum menikah, bentuknya seperti mukena dengan bahan sarung tenun khas Bima, hanya saja pada bagian atas rimpu cili, yang terbuka adalah sepasang mata pemakainya saja. Sedangkan rimpu colo, digunakan oleh kaum ibu yang sudah menikah. Rimpu colo menutup seluruh bagian tubuh kecuali wajah pemakainya.

Bagi pria, yang menjadi ciri khas dari Suku Bima adalah sambolo atau ikat kepala. Sambolo merupakan ikat kepala yang terbuat dari kain tenun, motifnya yang serupa sarung songket (songke), membuat sambolo kerap kali disebut sambolo songke.  Cara memakainya yaitu menjalin masing-masing ujung sehingga melingkari kepala dalam keadaan tertutup. Selain itu, kaum lelaki mengenakan sejenis kemeja berlengan dan berkerah pendek.

Pada bagian bawah, lelaki bima menganakan sarung songket yang disebut tembe me’e. Dan mengenakan ikat pinggang yang disebut salepe. Bentuk salepe tidak berbeda dengan selendang, pemakaiannya hanya dililitkan melingkar di pinggang.

Secara umum, pakaian adat Bima memiliki nilai-nilai ajaran Islam. Pakaian adat bima berfungsi sebagai penutup aurat. Selain sebagai pakaian sehari-hari busana adat Bima bisa difungsikan sebagai pakaian ketika melaksanakan shalat.

Sumber: kebudayaanindonesia

Suku Bima (Dou Mbojo)


Suku Bima merupakan suku yang mendiami Kabupaten Bima dan Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sukun ini telah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Pemukiman orang Bima biasa disebut kampo atau Kampe yang dikepalai orang seorang pemimpin yang disebut dengan Ncuhi. Jumlah Ncuhi yang terdapat di Suku Bima adalah tujuh Ncuhi yang pemimpin di setiap daerah.

Ncuhi dibantu oleh golongan kerabat yang tua dan dihormati. Kepemimpinan diwariskan turun temurun di antara keturunan nenek moyang pendiri desa. Setiap daerah menamakan dirinya sebagai bagian dari Bima, meski pada kenyataannya tidak ada pemimpin tunggal yang menguasai kepemerintahan tanah Bima.

Berbagai versi menyebutkan asal mula kata Bima menjadi suku tersebut. Ada yang mengatakan, Bima berasal dari kata “Bismillaahirrohmaanirrohiim”. Hal ini karena mayoritas suku Bima beragama Islam. Menurut sebuah legenda, kata Bima berasal dari nama raja pertama suku tersebut, yakni Sang Bima.

Legenda tersebut tertulis dalam Kibat Bo’. Ceritanya berawal dari kedatangan seorang pengembara dari Jawa yang bernama Bima tadi. Bima merupakan seorang Pandawa Lima yang melarikan diri ke Bima pada masa pemberontakan di Majapahit. Dia melarikan diri melalui jalur selatan agar tidak diketahui oleh para pemberontak, lalu berlabuh di Pulau Satonda.

Bima menikah dengan salah seorang putri di wilayah tersebut, dan memiliki anak. Bima memiliki karakter yang kasar dan keras, tapi teguh dalam pendirian serta tidak mudah mencurigai orang lain. Lalu, para Ncuhi mengangkat Bima menjadi Raja pertama wilayah tersebut yang kemudian menjadi daerah yang bernama Bima. Sang Bima dianggap sebagai raja Nima pertamanya.

Hanya saja, Sang Bima meminta kepada para Ncuhi supaya anaknya yang diangkat sebagai raja. Sementara dia sendiri kembali lagi ke Jawa dan menyuruh dua anaknya untuk memerintah di Kerajaan Bima. Oleh karena itu, sebagian bahasa Jawa Kuno kadang-kadang masih digunakan sebagai bahasa halus di Bima.

Nama Bima sendiri sebenarnya adalah sebutan dalam bahasa Indonesia, semnetara orang Bima sendiri menyebutnya Mbojo. Saat menggunakan bahasa Indonesia untuk merujuk “Bima”, yang digunakan tetap harus mengucapkan kata “Bima”. Tetapi bila menggunakan bahasa daerah Bima untuk merujuk”Bima”, kata yang digunakan secara tepat adalah “Mbojo”. Mbojo ini merupakan salah satu suku Bima karena dalam suku Bima sendiri ada dua suku, yakni suku Donggo dan suku Mbojo. Suku Donggo atau orang Donggo dianggap sebagai orang pertama yang telah mendiami wilayah Bima.

Saat ini, mayoritas suku Bima menganut agama Islam yang kini mencapai 95% lebih, di samping sebagian kecil juga menganut agama Kristen dan Hindu. Tetapi, ada satu kepercayaan yang masih dianut oleh suku Bima yang disebut dengan Pare No Bongi, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Pare No Bongi merupakan kepercayaan asli orang Bima. Dunia roh yang ditakuti adalah Batara Gangga sebagai dewa yang memiliki kekuatan yang sangat besar sebagai penguasa.

Kemudian ada lagi Batara Guru, Idadari sakti dan Jeneng, roh Bake dan roh Jim yang tinggal di pohon, gunung yang sangat besar dan berkuasa untuk mendatangkan penyakit, bencana, dan lainnya. Mereka juga percaya adanya sebatang pohon besar di Kalate yang dianggap sakti, Murmas tempat para dewa Gunung Rinjani; tempat tinggal para Batara dan dewi-dewi.

Dalam seni tradisional khas Bima, mereka memiliki tarian khas buja kadanda yang saat ini hampir punah. Namun kini telah mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah. Selain itu juga ada tari perang khas suku bima. Ada lagi tarian kalero yang berasal dari daerah Donggo lama. Kalero adalah tarian dan nyanyian yang berisi ratapan, pujian, pengharapan dan penghormatan terhadap arwah. Perlombaan balap kuda juga merupakan wujud kesenian lainya dari suku bima.

Adapun bahasa yang digunakan suku Bima adalah Bahasa Bima atau Nggahi Mbojo. Bahasa ini terdiri atas berbagai dialek, yaitu dialek Bima, Bima Dongo dan Sangiang. Bahasa yang mereka pakai ini termasuk rumpun Bahasa Melayu Polinesia. Dalam dialek bahasanya, mereka sering menggunakan huruf hidup dalam akhiran katanya, jarang menggunakan huruf hidup. Misalnya kata “jangang” diucapkan menjadi “janga”.

Mata pencaharian utamanya masyarakat suku Bima adalah bertani dan sempat menjadi segitiga emas pertanian bersama Makassar dan Ternate pada zaman Kesultanan. Oleh karena itu, hubungan Bima dan Makassar sangatlah dekat, karena pada zaman Kesultanan, kedua kerajaan ini saling menikahkan putra dan putri kerajaannya masing.

Mereka juga berladang, berburu dan berternak kuda yang berukuran kecil tapi kuat. Orang menyebut kuda tersebut dengan Kuda Liar. Sejak abad ke-14 kuda Bima telah diekspor ke Pulau Jawa. Tahun 1920 daerah Bima telah menjadi tempat pengembangbiakkan kuda yang penting. Mereka memiliki sistem irigasi yang disebut Ponggawa. Para wanita Bima membuat kerajinan anyaman dari rotan dan daun lontar, juga kain tenunan "tembe nggoli" yang terkenal.

Sumber: kebudayaanindonesia

Pakaian Pengantin Khas Bima (Mbojo)


Penduduk Bima merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang menyebar dari seluruh pelosok Tanah Air. Pembentukan masyarakatnya pun lebih dominan berasal dari imigrasi yang dilakukan oleh pendatang yang berasal dari daerah-daerah sekitar seperti Makassar, Bugis dengan mendiami wilayah pesisir Bima. Mereka umumnya berbaur dengan penduduk asli, salah satu caranya dengan melakukan perkawinan dengan gadis-gadis asli Bima. Mata pencaharian penduduknya cukup bervariasi seperti petani, pedagang, nelayan atau pegawai pemerintahan.


Para pendatang ini datang pada sekitar abad XIV, baik untuk berdagang ataupun menyiarkan agama. Dengan beragamnya etnis dan budaya yang masuk ke Bima maka tak mengherankan jika perkembangan agama di daerah ini cukup beragam meski 90 persen masyarakatnya memeluk agama Islam. Masyarakat Bima juga dikenal tetap memegang teguh nilai-nilai kearifan yang sudah tertanam sejak zaman nenek moyang mereka.

Karena mayoritas penduduknya beragama Islam, pola hidup keseharian masyarakatnya berpedoman pada aturan dan syariat Islam, termasuk penyelenggaraan upacara perkawinannya. Berikut adalah urutan upacara perkawinan masyarakat Bima, mulai dari tahapan penjajakan yang dilakukan oleh seorang jejaka terhadap sang gadis sampai acara sesudah prosesi akad nikah.

Tahapan Palinga
Merupakan proses awal dari keseluruhan rangkaian tata cara adat di mana seorang jejaka melakukan penjajakan untuk mencari seorang gadis yang akan dijadikan pasangan hidup. Bila dalam tahapan palinga ini ternyata si jejaka menyukai gadis tersebut dan ingin memperistrinya maka dia akan melaporkan hal ini kepada orangtuanya. Untuk mewujudkan keinginan sang anak, pihak keluarga pria akan mengirimkan utusan keluarga yang diberi tugas mencari tahu apakah gadis yang diinginkan anak lelakinya tersebut sudah ada yang punya atau belum. Bila belum ada yang punya dan si gadis bersedia menerima maksud hati sang jejaka yang disampaikan oleh utusannya maka akan dilakukan kesepakatan untuk menentukan kapan saat yang tepat keluarga pihak pria akan datang ke rumah keluarga gadis itu untuk melakukan peminangan secara resmi.

Peminangan
Pada hari yang telah disepakati sebelumnya, keluarga pihak pria beserta rombongan akan mendatangi rumah sang gadis untuk meminang. Kedua belah pihak keluarga akan mengadakan pembicaraan lebih lanjut untuk dapat berbesan. Bila ternyata dalam pertemuan ini tidak ditemukan kata sepakat maka kedua belah pihak akan menentukan hari, tanggal dan berbagai syarat keperluan adat yang harus dipenuhi oleh pihak keluarga pria menjelang pernikahan.

Kemudian memasuki tahapan pegantaran dan penerimaan Mahar yang dalam bahasa Mbojo disebut Oto Co’i dan Tarima Co’i yang diawali dengan pertemuan dan rembuk antara dua keluarga yang diwakili oleh Ompu Panati atau juru runding keluarga. Sebelum dilakukan Akad atau Pesta( Jambuta), dilaksanakanlah prosesi Kalondo Wei atau dikenal dengan prosesi menjemput calon Istri ke rumah orang tuanya untuk dibawa ke UMA RUKA (Rumah Mahligai atau Rumah Rias) yang dibangun oleh calon mempelai pria. Pada masa lalu prosesi ini dilakukan pada sore hari atau malam hari. Musik pengiringnya adalah Hadrah Rebana atau atraksi Gentaong.
Setibanya di rumah calon pengantin wanita, rombongan calon pengantin pria disambut dengan taburan beras kuning sebagai lambang penghormatan kepada tamu dan kemakmuran negeri. Kemudian dipersilahkan untuk menjemput calon pengantin wanita. Disnilah terjadi berbalas pantun antara kedua calon pengantin atau muda mudi yang memadati tempat itu. Lalu, calon pengantin wanita ditandu di atas Pabule atau sebuah usungan berbentuk segi empat yang berukuran satu kali satu meter yang diusung oleh empat orang pemuda kekar untuk dibawa ke Uma Ruka.

Upacara Malam Kapanca
Sebelum menuju prosesi Kapanca, diadakan acara tekarne’e khusus untuk kaum ibu, biasanya berlangsung di rumah calon mempelai wanita selama dua hari hingga malam kapanca dilaksanakan. Pada malam hari sebelum akad nikah dikediaman calon mempelai wanita akan melaksanakan upacara malam kapanca, pemakaian daun pacar. Dengan memulung daun pacar, para ibu secara bergantian memasang daun pacar. Pemakaian daun pacar tersebut tidak hanya dikuku tapi juga ditelapak tangan calon mempelai wanita dan harus berjumlah ganjil, tujuh atau sembilan. Dengan diiringi zikir, ini dimaksudkan sebagai doa restu agar kelak calon mempelai wanita diharapkan akan mendapatkan kebahagian dan kedamaian dalam berumah tangga. Untuk upacara kapanca ini, calon mempelai wanita dirias terlebih dahulu layaknya riasan pengantin serta memakai pakaian adat dan duduk ditengah undangan yang hadir pada malam itu yang semuanya perempuan.

Upacara kapanca juga dimaksudkan untuk memberi contoh pada gadis remaja yang hadir untuk mengikuti jejak calon mempelai wanita yang akan bersanding dan mengakhiri masa lajangnya. Dengan adanya tanda merah dikedua tangan calon mempelai wanita, menunjukkan gadis tersebut telah menjadi milik seseorang atau bukan gadis lagi karena keesokan harinya akan dilangsungkan akad nikah. Sebelum acara kapanca dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan acara sangongo atau mandi uap dengan memakai bunga dan rempah-rempah. Usai acara sangongo, masih dikediaman calon mempelai wanita akan diadakan acara boho oi ndeu atau siraman. Kemudian dilanjutkan dengan acara cafi ra hambu maru kai atau membersihkan, menata dan merias kamar pengantin. Selesai upacara kapanca dan rangkaian acara lainnya dikediaman calon mempelai wanita diadakan acara rawa mbojo, nyanyian tradisional Bima yang diiringi biola dan syairnya berupa pantun yang berisikan nasehat untuk kedua pengantin. Acara ini biasanya berlangsung hingga pagi.

Upacara Wa’a Coi (Antar Mahar) dan Akad Nikah
Tibalah hari yang ditetapkan untuk Akad nikah, rombongan calon mempelai pria menuju kediaman mempelai wanita. Bersama seorang ketua adat/tokoh keluarga sebagai juru bicara mewakili orangtua. Calon mempelai pria diapit oleh dua orang pendamping dan membawa perlengkapan, baik menurut syariat maupun adat berupa mahar yang telah disepakati.

Rombongan datang diiringi hadra dan bersalawat. Sebelum rombongan masuk, rombongan tersebut dihalangi oleh keluarga pihak mempelai wanita dengan sebuah galah. Acara ini disebut upacara tapa gala (main hadang), calon mempelai pria tidak diperbolehkan masuk dengan mudah. Sejumlah ibu akan memegang sebatang bambu panjang yang kuat, dipegang melintang. Potongan bambu tersebut harus dilewati, pada saat itulah terjadi dorong mendorong antara kaum ibu dari rombongan keluarga pihak calon mempelai pria dengan kaum ibu dari pihak mempelai wanita. Pada akhirnya nanti, pihak calon mempelai wanita akan kalah. Kemudian rombongan calon mempelai pria tersebut juga harus memperlihatkan kemampuan dalam bermain gentao, memainkan pedang. Setelah semuanya bisa dilalui barulah rombongan dipersilahkan untuk masuk dan segera melaksanakan akad nikah.

Acara Tokencai
Acara tokencai ini dilakukan setelah upacara akad nikah selesai dilaksanakan. Pengantin pria datang menuju kamar pengantin untuk menjemput sang istri. Sebelum masuk, dia harus terlebih dahulu mengetuk pintu kamar dan terjadilah acara saling berbalas pantun. Pintu kamar akan dibukakan bila pengantin pria bersedia memberikan hadiah atau sejumlah uang yang besarnya telah ditentukan oleh ina ru’u atau perias pengantin.

Setelah prosesi akad nikah kemudian dilanjutkan acara jambuta atau pesta, setelah itu baru diadakan semacam syukuran dan ini biasanya kesepakatan antara 2 keluarga baru tersebut. Syukuran bisa dilaksanakan pada sore atau malam hari.Keesokan paginya, masih di rumah mempelai wanita, ada proses boho oi ndeu dan Boho Oi Mbaru yaitu prosesi memandikan pengantin dengan air doa yang suci. Terbesit harapan semoga mereka tetap suci bersih sebagaimana ketika mereka dilahirkan. Dan suci bersih pula dalam mengarungi kehudupan rumah tangga. Dalam prosesi ini pula muda mudi dianjurkan untuk menyaksikan dengan harapan agar mereka cepat dapat jodoh dan lekas kawin mengikuti jejak rekan-rekannya.

Busana pengantin pria : bula - tutup kepala, pasangi baju lengan panjang dan celana panjang, siki - kain songket setinggi lutut, saba - sabuk, salipe - ikat pinggang diikatkan pada saba sampari - keris, pasapu - sapu tangan diikatkan pada keris.

Busana pengantin wanita : wange tata rias rambut dihiasi karaba - gabah padi digoreng tanpa minyak diikatkan pada wange, samu-utu-u - sanggul, jungge - tusuk sanggul atau konde jungge cina - bentuk kembang goyang - jungge cempaka - bentuk bunga - jungge dondo - dari emas dihias manik-manik, bangka dondo - hiasan telinga, baju poro, tembe sangke - kain songket, jima - gelang tangan, jima ancu hiasan lengan, salipe - ikat pinggang, pasapu - sapu tangan.

Sumber: mbojonet

6 Permainan Tradisional Daerah Bima Zaman Dahulu


Permainan tradisional daerah Bima banyak terinspirasi dari kegiatan dan pemberontakan yang di lakukan oleh Negara Belanda (Nipo) pada jaman penjajahan dulu, kegiatan yang dilakukan oleh penjajah tersebut dijadikan sebagai permainan bagi anak-anak yang di daerah bima dan permainan tersebut masih ada serta masih tetap terlestarikan sampai sekarang, mengapa kegiatan tersebut di jadikan sebagai permainan tradisional oleh daerah bima, karena apa yang menjadi kegiatan yang dilakukan oleh penjajah dahulu masih melekat dalam diri orang tua mereka dan kegiatan tersebut di turunkan kepada anak mereka dan di jadikan sebagai permainan tradisional secara turun temurun untuk mengingat masa-masa penjajahan dahulu yang dilakukan oleh Negara Belanda (Nipo).

Adapun jenis permainan tradisional daerah Bima yang terinspirasi dari jaman penjajahan dulu yaitu :

1. Mpa’a Lewa (Pemainan Perang).

Jenis permainan ini biasa dilakukan oleh anak-anak waktu sore hari, sakin keasyikan bermain, terkadang permainan ini bisa sampai menjelang magrib atau malam hari, alat dari permainan ini cukup sederhana dan bahan mudah didapat, alatnya berbahankan potongan batang daun pisang (“Pati Kalo” dalam Bahasa Bima) kemudian dibuat sehingga bebrentuk seperti senjata Api sungguhan, dan proses pembuatannyapun sangat sederhana, kemudian alat permainan perang tradisional yang dikembangkan oleh anak-anak daerah Bima yaitu terbuat dari papan bangunan dan tangkai bambu muda yang memiliki lubang, jenis alat permainan ini sudah memiliki peluru buatan yaitu, ikatan kabel bekas sehingga membetuk benjolan di ujungnya kemudian dipotong unjunya yang berdekatan dengan benjolan, potonglah sesuai dengan selera, alat inilah yang berfungsi sebagai peluru dan karet yang fungsi sebagai alat tarikan (Khusus untuk Senjata yang terbuat dari papan Bangunan) selanjutan untuk senjata yang terbuat dari tangkai bambu muda yang berlubang pelurunya terbuat dari daun tumbuhan yang digulung dan dimasukan kelubang bambu.

Pada dasarnya permainan ini memiki dua prinsip yaitu :

Prinsip yang pertama membagi regu. Pada prinsinya permainan ini memiliki dua regu yaitu regu A dan B, setiap regu berjumlah lima orang atau lebih, tambah banyak tambah seru, setelah setiap segu memiliki anggota, mereka harus berkumpul terlebih dahulu dari kedua regu tersebut untuk memastikan bahwa jumlah angota setiap regu itu seimbang, setelah semuanya fiks maka setiap regu wajib memiliki ketua regu (Komandan regu) yang bertugas menjalankan misi perang, setiap regu memiliki target utama yaitu melumpuhkan ketua regu (komandan regu), jika seandainya ketua regu bisa dilumpuhkan atau ditempak maka bertanda permainan telah selesai dan bisa di ulang kembali.

Prinsip yang kedua setiap anggota segu harus Menyebar. Penyebaran anggota setiap regu merupakan keharusan dalam permainan ini, perbedaan antara perang asli dan permainan perang terletak dari angota.  Perang asli setiap anggota tidak dibenarkan keluar dari segu dan kalau jalan harus di komanda regu yang dahulu, sedangkan permainan ini harus menyebar dan penyebarannya tidak terlalu jauh dari lokasi setempat, bagi setiap anggota segu yang kelihatan harus menembak sambil menyebutkan nama siapa yang tertempak, karna tidak ada pelurunya, bagi yang di sebut namanya meninggal, supaya di ketahui ada yang meninggal.


2. Mpa’a Kapole (Permainan Bersembunyi/Polisi).

Jenis permainan ini biasa dilakukan oleh anak-anak daerah bima pada malam hari setelah sholat isya dan mengaji, permainan ini bertujuan untuk menambah rasa solidaritas dan keakraban antara satu dengan yang lain serta membangun rasa kepekaan dalam menanggapi segala kemungkinan yang terjadi di lingkungan sekitar.

Pada prinsipnya permainan ini terbagi menjadi dua regu dan memiliki jumlah anggota masing kurang lebih 5 orang, dalam permainan ini ada benteng yang terbuat dari bambu dan kayu yang di tancap ke tanah untuk di jaga, setelah jumlah angota tiap segu seimbang, maka di lakukanlah sistem perundingan untuk menentukan regu mana yang menjadi penjaga benteng, setelah ditentukan penjaga benteng melalui perundian, maka satu regu yang tugasnya menjaga Benteng Pusat dan satu regu menjadi penyerang akan menyebar mengelilingi benteng dari jarak jauh, setelah itu perwakilan dari anggota regu penyerang berteriak “Kapole...(Bahasa Bima)” bertanda permainan sudah di mulai, dan regu yang berada di benteng pusat tersebut wajib menjaganya supaya tidak tersentuh oleh regu penyerang, karena yang menjadi target dalam permainan ini adalah satu benteng pusat, bila benteng pusat tersentuh oleh regu penyerang, maka permainan akan di menangkan oleh regu penyerang, jikan regu penjaga benteng lebih dulu menyetuh anggota tubuh dari regu penyerang, maka yang menjadi pemenangnya adalah regu penjaga dan regu penjaga tersebut berganti posisi penjadi regu penyerang dalam permainan selanjutnya, sesuai kesepakatan apakah permainan itu dilanjutkan atau tidak.

3. Mpa’a jaga ‘dua Bente (Permainan Menjaga Benteng).

Pada prinsipnya permainan ini terbagi menjadi dua regu dan memiliki jumlah anggota masing kurang lebih 5 orang, dalam permainan ini ada dua benteng terbuat dari bekas reruntuhan bangunan dan batu yang masing-masing di jaga oleh setiap regu, setelah jumlah angota tiap segu seimbang maka setiap kelompok memberikan aba-aba sebagai tanda permainan segera dimulai, yang menjadi target pemainan ini adalah masing-masing anggota regu dan benteng.

Sistem dalam permainan ini adalah sebagai berikut :

a. Perwakilan regu maju untuk menyerang benteng lawan kemudian regu yang lain ikut melawan menyerang.
b. Bagi anggota yang lama meninggalkan benteng dalam penyerangan wajib kembali kebenteng mereka masing-masing, gunanya untuk memperoleh kekuatan baru seperti permainan ONLINE, jika hal itu tidak segera dilakukan, maka besar peluang lawang untuk menyandranya.
c. Jika ada yang di sandra, maka kewajiban tiap anggota regu untuk membebaskanya dengan cara menyentuh bagian anggota tubuhnya.
d. Permainan akan berakhir jika menyentuh benteng lawan dengan kaki, serta semua anggota lawan berhasil disandra

4. Mpa’a malaci/tapa gala (Permainan mengaja tiap posisi).

Pemainan ini di adopsi dari permainan gobak sodor di daerah jawa. Dalam mpa’a tapa gala, dua regu akan bergiliran menjadi regu yang bermain maupun yang berjaga

Pada prinsipnya pemainan ini dimainkan oleh lima hingga enam orang tiap regu, tapa gala/malacis menggunakan arena berupa garis yang membentuk bidang kotak seperti pada gambar berikut :

Permainan berakhir apabila seluruh pemain berhasil menyebrang hingga ke belakang arena dan menginjak sudut atau pojok garis tapa gala arena permainan lalu kembali ke titi asal dengan aman tanpa di sentuh atau di pegang oleh lawan regu yang menjaga setiap posisi penyebrangan. Karena itu permainan ini sangat dibutuhkan kelincahan bergerak agar dapat dengan mudah menangkap lawan atau lolos dari hadangan lawan.

5. Mpa’a Kasti (Permainan dinasti)

Dalam permainan ini alat yang dibutuhkan adalah sebuah bola yang sebelumnya terbuat dari kertas bekas kemudian digulung sehingga terbentuk layaknya sebuah bola yang berukuran seperti bola tenis lapangan. Selain itu juga permaina ini membutuhkan beberapa pecahan genteng yang kemudian disusun secara vertikal seperti bangunan kastil/dinasti

Cara bermainya, pemain yang aktif pertama akan berusaha merobohkan dinasti yang sudah dibangun tadi, setiap anggota regu memiliki kesempatan untuk mendorong bola kearah bangunan dinasti sampai setiap anggota regu sudah bermain. Bagi regu  yang memiliki point yang banyak dari permainan tersebut akan diberikan tumpangan di atas punggun oleh regu yang kalah layaknya seorang manusia menumpangi kuda dan beputar sebanyak beberapa putaran tergantung dari kesepakatan diantara masing-masing regu.

6. Mpa’a Kawongga Haju Luhu.

Alat dari permainan ini terbuat dari kayu pilihan sehingga tidak mudah pecah pada saat diadu atau dipukul sama lawanya, serta ujung bawah dalam pengirisan jangan terlalu runcing supaya saat pemutaran lama di atas tanah, teknik pembuatan alat permainan ini sedikit unik dan rumit.

Pada prinsipnya dalam permainan ini yaitu ; kepala alat permainan tersebut digulung sedemikian rapi dengan tali yang di anyam dari daun pandang yang sudah dikeringkan sebelumnya, setelah itu dilepas dan ditarik supaya bisa berputar di atas permukaan tanah, siapapun yang punya alat permainan lama berputar diatas permukaan tanah, maka dialah yang menjadi pemenang awal untuk melakukan pukulan pertama dalam permainan ini.

Sumber: lambu