Anda mungkin sudah tidak asing dengan salah satu suku di Nusa Tenggara Barat ini - Bima. Kota yang potensi utamanya masih berkisar pada pertanian ini secara historis mempunyai hubungan yang erat dengan kerajaan Gowa-Tallo. Pengenalan agama Islam awalnya dari pedagang Jawa dan Gujarat. Namun pengaruhnya tidak dalam cakupan yang luas hingga pada masa mulai kuatnya ekspedisi Belanda, kerajaan Gowa-Tallo memutuskan mengirimkan pasukan untuk mematahkan serangan mereka melalui perairan Bima dan Lombok. Intervensi ini merupakan tapak baru bagi perkembangan silsilah suku Bima.
Seiring dengan pengaruh agama Islam yang lebih intensif dari ulama kerajaan Gowa-Tallo, maka gelar raja diganti menjadi sultan. Sedangkan mengenai penduduk asli dari daratan Bima adalah suku Donggo. Suku ini awalnya menganut kepercayaan animisme, lalu perlahan tertekan oleh agama Islam. Suku lain yang merupakan generasi baru dari suku Bima adalah suku pendatang dari Gowa-Tallo yang membawa amanat persaudaraan melalui perjuang melawan Belanda pada abad ke-14 itulah yang lalu menetap di Bima dan disebut Dou Mbojo (orang Bima). Suku inilah yang sekarang ini lebih menyebut dirinya sebagai suku asli Bima.
Tidak hanya suku Gowa–tallo yang menginjakkan kaki sejarahnya di Kerajaan Bima, situs kuburan dengan julukan Duta Bima di Kuburan Raja Gowa-Tallo membuktikan bahwa pengaruh pemuka agama Islam Bima juga turut berperan serta dalam perjuangan Kerajaan Gowa-Tallo di masa lalu.
Latar Belakang Orang Bima Merantau ke Makassar dan kehidupannya
Melihat latar belakang sejarah antara Suku Bima dan Makassar, wajar jika hingga saat ini hubungan historikal yang terjalin sejak lama itu masih terlihat. Terbukti, orang-orang Bima sudah tersebar menetap di seluruh wilayah Sulawesi Selatan termasuk kabupaten Takalar, Gowa, Kota Makassar dan lainnya. Mereka merantau ke Makassar baik itu untuk melanjutkan pendidikan, mencari kerja, atau malah menikah dengan suku asli Makassar.
Kota Makassar sebagai salah satu spot destinasi bagi orang-orang yang menginginkan hidup yang cukup tenang, namun kota yang juga tidak bisa disebut udik lagi, apalagi melihat perkembangan dari berbagai sektor dimana pemerintah kota Makassar telah menargetkan kesetaraan kota ini dengan kota metropolis di dunia. Kiranya inilah yang menjadi alasan mengapa calon-calon intelek di luar sana mempertimbangkan untuk menjadi salah satu jebolan universitas di Makassar.
Selain suku Jawa, suku yang juga telah banyak mendiami Makassar dan sekitarnya adalah suku Bima. Orang-orang keturunan Bima memang dikenal sebagai pribadi yang memiliki etos kerja yang tinggi setelah suku Jawa.
Hampir di setiap kampus bisa ditemui mahasiswa yang sengaja datang dari Bima untuk mendapatkan pendidikan; negeri, swasta, ataupun kesehatan. Seperti persatuan mahasiswa dari kabupaten lain di Sulawesi Selatan, mahasiswa Bima juga biasanya memiliki cara yang hampir sama sebagai wujud persaudaraan mereka, seperti rumah kos yang dikhususkan bagi mahasiswa asal Bima.
Cara lain yang mereka lakukan untuk mempersatukan kesukuan mereka di tengah perantauan ini, adalah membentuk arisan ‘Dou Mbojo’. Penulis menemukan perkumpulan arisan ini ada di Takalar dan Makassar. Arisan ini rutin mereka adakan tiap bulannya, selain untuk mempererat persaudaraan (cukup klasik namun sangat dalam maknanya bagi para perantau), juga untuk saling mengenal satu sama lain yang pada kenyataannya tersebar di pelosok kota ataupun kabupaten di sekitar Makassar. Moment ini juga akan menjadi ajang berbagi cerita mengenai keluarga masing-masing, tentang lingkungan kerja istri atau suami, tentang sekolah atau pekerjaan anak-anak kebanggaan mereka dan lain sebagainya. Arisan ini dikemas dalam bentuk yang umum dimana selain tradisi mengocok nama, juga dengan sajian makanan khas Makassar; Baro’bo (bubur jagung), Kapurung, ikan bakar, Racca’ Mangga, dan lainnya.
Dengan komunitas yang cukup besar ini, maka tidak jarang hampir di setiap keramaian, akan anda temui orang-orang yang berbahasa Bima. Hal ini mungkin karena kehidupan di kampung halaman yang nota bene belum begitu menjanjikan jika dibandingkan dengan kota Makassar dari segi infrastruktur yang lebih lengkap.
Beragam cerita dan latar belakang menjadi motivasi perantau Bima untuk datang ke Makassar; tuntutan profesi yang menugaskan mereka di kota yang tengah gencar membangun ini. Arif, seorang tentara jebolan dari pendaftaran Catam Jakarta tahun 2000 yang kini berpangkat Pratu, berasal dari suku Bima asli dan kini bertugas pada kesatuan Armed Makassar, lalu menyunting gadis asal Bima.
Nadimin S. Kes, M. Kes., yang tinggal di perumahan IDI Daya adalah seorang dosen suku Bima dan mengajar di kampus IDI dulunya menyelesaikan studinya di Makassar, kini menetap di Makassar dengan istri bersuku Bugis-Jawa.
Bimbim, seorang jebolan mahasiswa UNM merupakan pemuda kelahiran Dompu - kabupaten tak jauh dari kota Bima - kini menangani laboratorium jurusan Teknik UNM. Awalnya Bimbim menjatuhkan pilihannya di kota Makassar sebagai kota untuk mengambil gelar Sarjana Tekniknya ini karena pengalaman kakaknya yang sudah lebih dulu menyandang gelar Sarjana Agama di UIN.
Seperti yang banyak terjadi pada suku-suku yang lainnya, walaupun sekian persen mereka menikah dengan suku Bugis atau Makassar, tetapi secara prinsip, mereka akan menikah dengan suku yang sama lalu menetap di Makassar dengan alasan sumber kehidupan mereka ada di sini. Anak-anak yang kemudian lahir, tentunya akan lebih familiar dengan tata cara, budaya, logat, ataupun pola hidup orang Makassar.
Walaupun sebagian besar orang-orang Bima menuntut ilmu di Makassar lalu melanjutkannya juga dengan bekerja di Makassar, tak jarang juga dari mereka akan kembali ke kampung halaman untuk mengabdi di sana. Pada umumnya mereka yang berprofesi sebagai guru, perawat, bidan, pelayanan kesehatan lain, sedangkan untuk profesi pengacara, seperti Arsyad, yang tinggal di daerah Sudiang beristrikan suku Bugis, lebih memilih membentuk sebuah wadah konsultan di Makassar. Sekiranya di Bima mungkin masih belum populer dengan pemanfaatan jasa pengacara.
Hubungan Orang Bima dengan kampung Halaman
Berada di kampung orang lain walaupun sampai berpuluh tahun, bukan berarti melupakan sepenuhnya keberadaaan keluarga di kampung asal. Transportasi yang paling lumrah dan murah sebagai jalur utama orang Bima ke Makassar ataupun sebaliknya adalah kapal laut; Kelimutu, Tilongkabila, Labobar. Maka jangan heran kalau Anda sedang berada di Gedung Pelni Jl. Jenderal Sudriman 38, Anda akan menemukan pemuda pemudi bercakap dalam bahasa Bima.
Musim pulang kampung masyarakat Bima tidaklah jauh berbeda dengan masa-masa mudik suku lain. Menjelang Idul Fitri adalah mudik yang paling dinanti-nantikan. Namun itu hanya berlaku bagi mereka yang berprofesi sebagai mahasiswa. Kalaupun ternyata biaya ditangan tidak cukup untuk membeli tiket, mahasiswa ini biasanya akan ikut ke kampung halaman teman dekatnya sesama mahasiswa atau jika memiliki keluarga di Makassar, mereka akan merayakan hari besar itu bersama mereka. Orang Bima yang sudah berkeluarga dan memiliki anak memiliki jedah waktu yang lebih panjang untuk melakukan mudik. Dari segi pengeluaran budget tentunya akan lebih besar jika harus melakukan tradisi mudik tiap tahunnya.
Salah satu resiko yang cukup dramatis yang mesti dihadapkan kepada para perantau ini adalah, jika sanak keluarga, entah itu ayah, ibu, nenek, kakek, atau saudara tertimpa musibah atau bahkan meninggal, para perantau ini tentu tidak akan langsung bisa berada di tempat itu untuk sekedar berada di samping sanak keluarga yang tertimpa musibah.
Saat Idul Fitri harus dirayakan bertahun-tahun di Makassar, permohonan maaf hanya bisa dikirimkan lewat sms atau telepon, lalu menyadari betapa jauhnya sang anak telah meninggalkan orang tua, membuat cucu jauh dan asing pada kakek dan neneknya. Para sepupu bahkan akan sulit untuk saling mengakrabkan diri saat akhirnya dipertemukan.
Budaya Masyarakat Bima di Makassar
Kebudayaan suku Bima dengan Makassar sebenarnya tidaklah jauh berbeda. Lihat saja gaun pengantin adat yang hampir mirip dengan baju bodo suku Makassar. Perhelatan pesta pernikahanlah yang akan memperlihatkan perbedaan yang cukup menonjol. Apalagi mengingat budaya Makassar dengan nilai Panaik yang cukup tinggi. Suku Bima terbilang lebih sederhana dalam melaksanakan prosesi pernikahan.
Dari segi bahasapun, jika ciri khas dari bahasa Makassar lebih dominasi dengan akhiran huruf mati, maka bahasa Bima lebih dengan akhiran huruf hidup. Sampel yang bisa kita ambil seperti kata ‘tantongang’ dalam bahasa Makassar yang artinya jendela, maka dalam bahasa Bima ‘tantonga’. ‘jangang’ dalam bahasa Makassar, maka bahasa Bima disebut ‘janga’. Salah satu kata yang paling sering mereka ucapkan bagi saudara yaitu bermakna salam, doa, atau menunjukkan rasa empati adalah ‘kalembo ade’. Kata yang tidak memiliki arti yang spesifik ini adalah untuk menunjukkan penghargaan satu sama lainnya.
Untuk silsilah keluarga, suku Bima memanggil saudara ayah atau ibu yang lebih tua dengan Ua’. Sedangkan saudara ibu atau ayah yang lebih muda, mereka sebut bibi dan om.
Demikianlah sekilas tentang kehidupan masyarakat Bima (Dou Mbojo) di kota Anging Mammiri ini.
Sumber: mbozoraneva
Foto: infombojo